Di antara shalat sunnah yang kita kenal, adalah
shalat sunnah rawatib yang dilaksanakan beriringan dengan shalat fardhu baik
sebelum ataupun sesudahnya. Diantara keseluruhan shalat sunnah tersebut, ada
yang kesunnahannya bersifat muakkad (sangat dianjurkan), ada yang hanya
sebatas mustahab (dianjurkan), ada yang hanya sekedar dibolehkan, ada
yang dimakruhkan bahkan diharamkan.
Namun tentu tidak semua hukum yang disebutkan di
atas disepakati oleh para ulama. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa
faktor yang menimbulkan perdebatan di antara mereka. Di antaranya adalah
ditemukannya beberapa hadits yang secara lahir maknanya bertentangan satu sama
lain, atau dalam ilmu hadits hal tersebut dikenal dengan istilah mukhtalaf
al-ahadits.
Perbedaan yang ditimbulkan adalah perbedaan dalam
hal menyikapi hadits-hadits tersebut. Karena dalam ilmu mukhtalaf al-hadits
sendiri para ulama telah merumuskan beberapa cara atau solusi dalam menyikapi
hadits-hadits tersebut. Antara lain adalah dengan al-jam’u (mencari
titik temu), al-tarjih (mencari yang paling kuat), dan ma’rifah
an-nasikh wal mansukh (mengetahui mana yang menasakh dan mana yang
dimansukh).
Namun permasalahannya tidak berhenti sebatas
dengan mengetahui cara-cara di atas. permasalahan lain yang sering muncul
adalah timbulnya perbedaan pandangan di antara para ulama mengenai cara mana
yang paling tepat untuk digunakan dalam menyikapi hadits-hadits yang
bertentangan itu.
Yang pada akhirnya akan menimbulakan perbedaan
dalam pengambilan kesimpulan hukum sesuai cara yang ditempuh oleh masing-masing
ulama. Dan hal itu membuat perbedaan-perbedaan hukum mengenai suatu perkara
yang banyak kita temukan dalam kitab-kitab fiqih maupun hadits menjadi sangat wajar
adanya.
Mukhtalaf Al-Ahadits mengenai Shalat Sunnah Sebelum Maghrib
Kali ini penulis akan mengambil salah satu contoh
kasus yang berkaitan dengan mukhtalaf al-hadits, yaitu mengenai hukum shalat dua
rakaat sebelum maghrib. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua hadits yang akan
menjadi pokok bahasan kita kali ini. Yang pertama adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abullah bin al-Muzani :
«صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ المَغْرِبِ»، قَالَ:
«فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً»
“Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib, (kemudian) bersabda Rasulullah
SAW setelah yang ketiga kalinya : “bagi siapa saja yang berkehendak!” karena
takut orang menjadikannya sebagai sunnah.”
Dan yang kedua adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Thowus :
سئل بن عُمَرَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ
قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَقَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهِمَا وَرَخَّصَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الْعَصْرِ
“Ibnu Umar ditanya tentang dua
rakaat sebelum maghrib kemudian dia berkata aku tidak pernah melihat seseorang
pada masa Rasulullah SAW melakukan shalat tersebut namun Beliau memberikan
keringanan pada dua rakaat setelah ashar”
Dua hadits di atas jika dilihat secara dzahir, maknanya
saling bertentangan. Yang pertama menunjukkan kebolehan shalat sunnah sebelum
maghrib, namun yang kedua manafyikan kesunnahannya. Maka disini kita akan
melihat bagaimana para ulama menyikapi kedua hadits di atas.'
a. Al-Jam’u
Di antara para ulama hanafiyah ada yang
menggunakan cara al-jam’u dalam menyikapi kedua hadits di atas sebagaimana
disebutkan oleh Badruddin
al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qori Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasannya
adalah sebagai berikut.
Hadits yang pertama berkaitan dengan kondisi kaum
muslimin pada awal kemunculan islam, untuk menunjukkan telah berlalunya waktu terlarang
untuk shalat dengan terbenamnya matahari sehingga rasulullah SAW menganjurkan
untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib sebagai pertanda bahwa waktu
tersebut sudah diperbolehkan untuk melakukan shalat, baik itu shalat sunnah
atau shalat fardu.
Kemudian setelah itu kaum muslimin terbiasa untuk
menyegerakan shalat fardu di awal waktu agar tidak terlambat untuk
melaksanakannya di waktu yang utama, maka shalat dua rakaat sebelum maghrib pun
tidak dilakukan. Dengan demikian hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar
tidak bisa dijadikan hujjah untuk menafyikan kesunnahan shalat dua rakaat
sebelum maghrib.
Para ulama lainnya juga melakukan al-jam’u pada
kedua hadits di atas namun dari pandangan berbeda. Yaitu dengan memandang dari
sisi itsbat dan nafyinya. Hadits pertama dianggap sebagai hadits yang menetapkan
atau meng-itsbat (mutsbit) kebolehan shalat sunnat dua rakaat sebelum maghrib.
Dan hadits yang kedua dianggap sebagai hadits yang menafyikan (nafi)
kebolehannya. Maka jika ada dua hadits, yang satu mutsbit dan yang satu nafi,
yang didahulukan adalah hadits yang mutsbit.
b. An-Naskh
Ibnu Syahin berpendapat bahwa hadits pertama yaitu
hadits Abdullah bin al-Muzani, dinasakh oleh hadits kedua yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh abdullah bin Buraidah
إِن عِنْد كل أذانين رَكْعَتَيْنِ مَا
خلا الْمغرب
“Sesungguhnya
di setiap dua adzan (adzan dan iqomah) ada dua rakaat, kecuali shalat maghrib”
Namun pendapat ini disanggah oleh
Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri dalam kitab Mir’ah al-Mafatih. Beliau
mengatakan bahwa pendapat nasakh ini tidak perlu dianggap karena merupakan
pendapat yang tidak berdasar.
c. At-Tarjih
Cara yang terakhir adalah dengan melakukan tarjih
terhadap salah satu hadits yang dianggap lebih kuat atau lebih shahih. Penjelasannya
adalah sebagai berikut :
Hadits yang pertama yaitu hadits yang diriwayatkan
dari Abullah bin al-Muzani adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhori. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak ulama ahli
hadits yang termaktub dalam kitab-kitabnya antara lain Musnad-nya Imam Ahmad,
Shahih Ibnu Khuzaimah, Shaih Ibnu Hibban, Sunan Abu Daud, Sunan al-Daruqutni,
al-Sunan al-Shagir dan al-Sunan al-Kubro karya Imam al-Baihaqi.
Selain shahih, hadits ini juga diperkuat oleh
hadits lain yang juga merupakan hadits shahih. yaitu hadits yang diriwayatkan
dari Anas bin Malik :
كَانَ المؤذّن إِذَا أَذَّنَ
قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ، حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلم
وَهُمْ كَذَلِكَ، يُصَلُّونَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ المَغْرِبِ
“Adalah muadzin
apabila adzan, para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersegera
berdiri menuju tiang masjid untuk shalat dua rakaat sebelum maghrib sampai Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara mereka dalam keadaan demikian”
Hadits
di atas adalah hadits yang muttafaq ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim). Dengan demikian hadits ini menjadi penguat bagi hadits pertama yang
diriwayatkan dari Abdullah bin al-Muzani yang menunjukkan ke-masyru’iyyah-an
shalat dua rakaat sebelum maghrib. Walaupun nantinya ada perbedaan di antara fuqoha
dalam derajat ke-masyru’iyyah-annya. Ada yang bilang sunnah atau
mustahab dan ada yang bilang hanya sekedar mandub.
Sedangkan hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu
Umar bahwa dia tidak melihat seorang pun dari sahabat Nabi yang melakukan
shalat dua rakaat sebelum maghrib, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Al-Baihaqi.
Namun hadits ini mendapat komentar dari beberapa
ulama diantaranya Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih
karena dalam sanadnya terdapat seorang rowi majhul (tidak diketahui/dikenal)
yang bernama Syuaib. Di samping itu Imam Al-bani juga mengatakan bahwa hadits
ini adalah hadits dha’if.
Walhasil jika menerapkan metode tarjih dalam
menyikapi dua hadits ini, maka shalat dua rakaat sebelum maghrib hukumnya
sunnah atau paling tidak mubah. Karena hadits yang menetapkannya lebih rajih
(kuat) dari pada hadits yang menafyikannya.
Kesimpulan
Jika melihat beberapa cara dalam menyikapi
mukhtalaf al-ahadits seperti yang telah dijelaskan di atas, sangat wajar jika
kita mendapati perbedaan para ulama dalam menentukan hukum shalat dua rakaat
sebelum maghrib. Karena memang setiap ulama mempunyai pendapat dan metode
masing-masing dalam hal ini bahkan dalam masalah-masalh fiqih lainnya.
Dalam madzhab yang empat yang kita kenal juga
punya pendapat yang berbeda-beda. Di antaranya madzhab Hanafi dan maliki
berpendapat bahwa shalat dua rakaat sebelum maghrib hukumnya makruh. Lain lagi
dengan madzhab Syafi’i yang justru mengatakan hukumnya sunnah.
Perbedaan tersebut tidak terlepas dari adanya
beberapa metode atau cara yang bisa diterapakan dalam menyikapi mukhtalaf
al-ahadits seperti yang telah dibahas di atas. Karena pada umumnya dalil yang
dipakai para ulama dalam menentukan suatu hukum itu sama, namum cara memahami
dan sudut pandang masing-masing ulama terhadap dalil itu yang berbeda.
Jazakallah khair, Mantab penjelasannya
BalasHapus