Sabtu, 30 November 2013

Posted by Unknown | File under :


Di antara shalat sunnah yang kita kenal, adalah shalat sunnah rawatib yang dilaksanakan beriringan dengan shalat fardhu baik sebelum ataupun sesudahnya. Diantara keseluruhan shalat sunnah tersebut, ada yang kesunnahannya bersifat muakkad (sangat dianjurkan), ada yang hanya sebatas mustahab (dianjurkan), ada yang hanya sekedar dibolehkan, ada yang dimakruhkan bahkan diharamkan.

Namun tentu tidak semua hukum yang disebutkan di atas disepakati oleh para ulama. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa faktor yang menimbulkan perdebatan di antara mereka. Di antaranya adalah ditemukannya beberapa hadits yang secara lahir maknanya bertentangan satu sama lain, atau dalam ilmu hadits hal tersebut dikenal dengan istilah mukhtalaf al-ahadits.

Perbedaan yang ditimbulkan adalah perbedaan dalam hal menyikapi hadits-hadits tersebut. Karena dalam ilmu mukhtalaf al-hadits sendiri para ulama telah merumuskan beberapa cara atau solusi dalam menyikapi hadits-hadits tersebut. Antara lain adalah dengan al-jam’u (mencari titik temu), al-tarjih (mencari yang paling kuat), dan ma’rifah an-nasikh wal mansukh (mengetahui mana yang menasakh dan mana yang dimansukh).

Namun permasalahannya tidak berhenti sebatas dengan mengetahui cara-cara di atas. permasalahan lain yang sering muncul adalah timbulnya perbedaan pandangan di antara para ulama mengenai cara mana yang paling tepat untuk digunakan dalam menyikapi hadits-hadits yang bertentangan itu. 

Yang pada akhirnya akan menimbulakan perbedaan dalam pengambilan kesimpulan hukum sesuai cara yang ditempuh oleh masing-masing ulama. Dan hal itu membuat perbedaan-perbedaan hukum mengenai suatu perkara yang banyak kita temukan dalam kitab-kitab fiqih maupun hadits menjadi sangat wajar adanya. 

Mukhtalaf Al-Ahadits mengenai Shalat Sunnah Sebelum Maghrib

Kali ini penulis akan mengambil salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan mukhtalaf al-hadits, yaitu mengenai hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua hadits yang akan menjadi pokok bahasan kita kali ini. Yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abullah bin al-Muzani  :
«صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ المَغْرِبِ»، قَالَ: «فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً»
“Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib, (kemudian) bersabda Rasulullah SAW setelah yang ketiga kalinya : “bagi siapa saja yang berkehendak!” karena takut orang menjadikannya sebagai sunnah.”

Dan yang kedua adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Thowus :
سئل بن عُمَرَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَقَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهِمَا وَرَخَّصَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ
“Ibnu Umar ditanya tentang  dua rakaat sebelum maghrib kemudian dia berkata aku tidak pernah melihat seseorang pada masa Rasulullah SAW melakukan shalat tersebut namun Beliau memberikan keringanan pada dua rakaat setelah ashar”

Dua hadits di atas jika dilihat secara dzahir, maknanya saling bertentangan. Yang pertama menunjukkan kebolehan shalat sunnah sebelum maghrib, namun yang kedua manafyikan kesunnahannya. Maka disini kita akan melihat bagaimana para ulama menyikapi kedua hadits di atas.'

a.    Al-Jam’u

Di antara para ulama hanafiyah ada yang menggunakan cara al-jam’u dalam menyikapi kedua hadits di atas sebagaimana disebutkan oleh  Badruddin al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qori Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasannya adalah sebagai berikut. 

Hadits yang pertama berkaitan dengan kondisi kaum muslimin pada awal kemunculan islam, untuk  menunjukkan telah berlalunya waktu terlarang untuk shalat dengan terbenamnya matahari sehingga rasulullah SAW menganjurkan untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib sebagai pertanda bahwa waktu tersebut sudah diperbolehkan untuk melakukan shalat, baik itu shalat sunnah atau shalat fardu.

Kemudian setelah itu kaum muslimin terbiasa untuk menyegerakan shalat fardu di awal waktu agar tidak terlambat untuk melaksanakannya di waktu yang utama, maka shalat dua rakaat sebelum maghrib pun tidak dilakukan. Dengan demikian hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar tidak bisa dijadikan hujjah untuk menafyikan kesunnahan shalat dua rakaat sebelum maghrib.

Para ulama lainnya juga melakukan al-jam’u pada kedua hadits di atas namun dari pandangan berbeda. Yaitu dengan memandang dari sisi itsbat dan nafyinya. Hadits pertama dianggap sebagai hadits yang menetapkan atau meng-itsbat (mutsbit) kebolehan shalat sunnat dua rakaat sebelum maghrib. Dan hadits yang kedua dianggap sebagai hadits yang menafyikan (nafi) kebolehannya. Maka jika ada dua hadits, yang satu mutsbit dan yang satu nafi, yang didahulukan adalah hadits yang mutsbit.

b.   An-Naskh

Ibnu Syahin berpendapat bahwa hadits pertama yaitu hadits Abdullah bin al-Muzani, dinasakh oleh hadits kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh abdullah bin Buraidah
إِن عِنْد كل أذانين رَكْعَتَيْنِ مَا خلا الْمغرب
“Sesungguhnya di setiap dua adzan (adzan dan iqomah) ada dua rakaat, kecuali shalat maghrib”
Namun pendapat ini disanggah oleh Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri dalam kitab Mir’ah al-Mafatih. Beliau mengatakan bahwa pendapat nasakh ini tidak perlu dianggap karena merupakan pendapat yang tidak berdasar.

c.    At-Tarjih

Cara yang terakhir adalah dengan melakukan tarjih terhadap salah satu hadits yang dianggap lebih kuat atau lebih shahih.  Penjelasannya adalah sebagai berikut :

Hadits yang pertama yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abullah bin al-Muzani adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadits yang termaktub dalam kitab-kitabnya antara lain Musnad-nya Imam Ahmad, Shahih Ibnu Khuzaimah, Shaih Ibnu Hibban, Sunan Abu Daud, Sunan al-Daruqutni, al-Sunan al-Shagir dan al-Sunan al-Kubro karya Imam al-Baihaqi.

Selain shahih, hadits ini juga diperkuat oleh hadits lain yang juga merupakan hadits shahih. yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :
كَانَ المؤذّن إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ، حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلم وَهُمْ كَذَلِكَ، يُصَلُّونَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ المَغْرِبِ
“Adalah muadzin apabila adzan, para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersegera berdiri menuju tiang masjid untuk shalat dua rakaat sebelum maghrib sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara mereka dalam keadaan demikian”

Hadits di atas adalah hadits yang muttafaq ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim). Dengan demikian hadits ini menjadi penguat bagi hadits pertama yang diriwayatkan dari Abdullah bin al-Muzani yang menunjukkan ke-masyru’iyyah-an shalat dua rakaat sebelum maghrib. Walaupun nantinya ada perbedaan di antara fuqoha dalam derajat ke-masyru’iyyah-annya. Ada yang bilang sunnah atau mustahab dan ada yang bilang hanya sekedar mandub.

Sedangkan hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia tidak melihat seorang pun dari sahabat Nabi yang melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Baihaqi. 

Namun hadits ini mendapat komentar dari beberapa ulama diantaranya Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih karena dalam sanadnya terdapat seorang rowi majhul (tidak diketahui/dikenal) yang bernama Syuaib. Di samping itu Imam Al-bani juga mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dha’if.

Walhasil jika menerapkan metode tarjih dalam menyikapi dua hadits ini, maka shalat dua rakaat sebelum maghrib hukumnya sunnah atau paling tidak mubah. Karena hadits yang menetapkannya lebih rajih (kuat) dari pada hadits yang menafyikannya.

Kesimpulan

Jika melihat beberapa cara dalam menyikapi mukhtalaf al-ahadits seperti yang telah dijelaskan di atas, sangat wajar jika kita mendapati perbedaan para ulama dalam menentukan hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Karena memang setiap ulama mempunyai pendapat dan metode masing-masing dalam hal ini bahkan dalam masalah-masalh fiqih lainnya.

Dalam madzhab yang empat yang kita kenal juga punya pendapat yang berbeda-beda. Di antaranya madzhab Hanafi dan maliki berpendapat bahwa shalat dua rakaat sebelum maghrib hukumnya makruh. Lain lagi dengan madzhab Syafi’i yang justru mengatakan hukumnya sunnah.



Perbedaan tersebut tidak terlepas dari adanya beberapa metode atau cara yang bisa diterapakan dalam menyikapi mukhtalaf al-ahadits seperti yang telah dibahas di atas. Karena pada umumnya dalil yang dipakai para ulama dalam menentukan suatu hukum itu sama, namum cara memahami dan sudut pandang masing-masing ulama terhadap dalil itu yang berbeda.

1 komentar: