Sabtu, 28 September 2013

Posted by Unknown | File under :

A.  Pengantar

Sebagai seorang thalib al-‘ilm atau pencari ilmu dalam hal ini ilmu agama dan lebih khususnya lagi ilmu syariah, sudah sepantasnya dan seharusnya dapat lebih banyak mengenal dan berinteraksi dengan kutub turats atau kitab-kitab klasik karya ulama-ulama terdahulu. Karena melewati kitab-kitab tersebut kita dapat mempelajari banyak hal dari pemikiran mereka dalam mepraktekkan ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah.


Dalam berinteraksi dengan kitab-kitab klasik tersebut dibutuhkan pengetahuan yang komprehensif. Tidak hanya memahami isi kandungannya, tapi juga seorang tholib al-‘ilm sebaiknya memiliki pemahaman tentang seluk beluk penulisannya. Antara lain mengetahui profil penulis, latar belakang, dan metode penulisannya.

Untuk itu, kali ini penulis akan mencoba mengupas sebuah kitab yang memuat fatwa-fatwa berkaitan dengan hukum fiqih yang dikeluarkan oleh salah seorang ulama fenomenal  dari rentetan ulama-ulama syafi’iyyah, ulama yang sangat berpengaruh dalam penyebaran madzhab Imam as-Syafi’i, bahkan ulama yang satu ini dikenal sebagai muhaqqiq dan muharrir madzhab syafi’i. Beliau adalah Imam an-Nawawi.

Dan kitab yang dimaksud adalah kitab Fatawa al-Imam an-Nawawi al-Musammah bi al-Masail al-Mantsuroh yang disusun oleh murid Imam an-Nawawi sendiri yaitu ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Tentunya kitab ini menjadi salah satu referensi penting umat islam khususnya di Indonesia, mengingat kebanyakan masyarakat di Indonesia adalah pengikut madzhab syafi’i.

Dan seperti yang kita ketahui bahwa dalam madzhab syafi’i dikenal istilah syaikhon (dua syeikh). Dua syeikh yang dimaksud adalah Imam Nawawi dan Rafi’i. Pendapat kedua ulama ini, oleh generasi ulama syafi’iyah setelahnya dijadikan sebagai rujukan utama dalam ilmu fiqih. dan Imam Nawawi mendapat prioritas yang lebih tinggi dibanding Imam Rafi’i. Sehingga jika ada perbedaan pendapat antara keduanya, maka pendapat yang diambil adalah pendapat Imam Nawawi.  

Dengan tulisan ini, mudah-mudahan bisa lebih mengenalkan kita terhadap kitab turats yang satu ini, dan dapat mangambil faedah dari kehidupan penulisnya yang sangat inspiratif dan sarat dengan hikmah terutama bagi para pecinta ilmu.

B.   Profil Penulis

a.      Nama, Julukan dan Kunyah[1]

Mempunyai nama lengkap Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husein bin Muhammad Jum’ah bin Hizam al-Hizami an-Nawawi. Yang menarik dari nama ini adalah kunyah beliau yaitu Abu Zakaria yang berarti ayah Zakaria yang menunjukkan seakan-akan beliau memiliki putra bernama Zakaria walaupun sebenarnya beliau tidak pernah memiliki anak. Karena semasa hidupnya beliau tidak pernah menikah.[2]

Para ulama yang menulis tentang biografi Imam an-Nawawi sering menjuluki beliau dengan sebutan Muhyiddin yang memiliki arti orang yang menghidupkan agama. Julukan tersebut tentu saja bertujuan untuk menghormati dan menghargai beliau atas jasa-jasa yang tidak terhingga untuk menyebarkan ilmu dan menghasilkan karya-karya yang sangat bermanfaat dalam penyebaran ajaran islam, bukan hanya dirasakan oleh umat islam di negeri-negeri Arab tapi juga oleh umat Islam di seluruh dunia.

 Walaupun sebenarnya Imam an-Nawawi sendiri tidak suka dirinya dijuluki dengan sebutan tersebut karena ke-tawadhu’-an dan ketakutan beliau menjadi bagian dari orang-orang yang Allah cela dalam al-quran surat an-Najm ayat 32 : “...maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci...”. Beliau sendiri pernah berkata, “Aku tidak menghalalkan orang lain menjuluki aku dengan sebutan Muhyiddin”.[3]

b.      Akhlak Imam an-Nawawi

Beliau merupakan ulama besar yang sangat produktif sehingga beliau mampu menghasilkan segudang karya dalam ilmu hadits dan ilmu fiqih. Tiga dari karyanya yang sangat populer, bahkan dapat kita temukan hampir di setiap pesantren di Indonesia antara lain adalah kitab al-Adzkar, al-Arba’un an-Nawawiyah dan Riyadh al-Sholihin.

Selian dikenal sebagai ulama yang produktif, beliau juga dikenal sebagai ulama yang zuhud dan wara’. Sehingga karena begitu sibuknya beliau dengan menghasilkan karya-karya ilmiah, diriwayatkan bahwa beliau pernah ditanya, “mengapa engkau tidak menikah?” belia menjawab, “Aku lupa!”.

Di antara akhlak beliau yang menunujukkan sifat wara’-nya adalah bahwa beliau tidak pernah menerima hadiah atau pemberian dari siapapun kecuali dari orangtua dan kerabatnya. Dalam sehari beliau hanya makan sekali saja yaitu sehabis isya dan minum pun hanya sekali yaitu di waktu sahur.
Hebatnya lagi Imam an-Nawawi selama hidupnya hampir tidak pernah makan dengan dua macam lauk, melainkan ia hanya makan dengan satu macam lauk saja walaupun segala jenis makanan tersedia di hadapannya. Dan beliau makan daging hanya sekali dalam satu bulan.[4]

c.       Lahir dan Wafat

Beliau lahir di pertengahan bulan Muharram tahun 631 H di sebuah desa bernama Nawa yang terletak di Damaskus, Suriah. Beliau tinggal disana selama 28 tahun, sehingga nama beliau pun di nisbatkan kepada desa tersebut karena sebagaimana satu kaidah yang disebutkan oleh ‘Abdullah bin al-Mubarak, “Barangsiapa yang tinggal di suatu tempat selama empat tahun, maka ia berhak dinisbatkan kepada tempat tersebut.”[5]

Setelah melakukan ziarah ke Baitul Maqdis, pada sepertiga malam terakhir tanggal dua puluh empat bulan Rajab tahun 676 H beliau meninggal dunia di tempat beliau lahir yaitu di desa Nawa dan beliau pun disemayamkan di pagi harinya.

d.      Kecintaan Terhadap Ilmu

Kecintaan Imam Nawawi terhadap ilmu sudah tampak sejak usianya masih belia. Imam Nawawi selalu menolak ajakan teman-teman sebayanya untuk bermain. Bahkan suatu saat teman-temannya memaksanya untuk ikut bermain sampai akhirnya dia menangis. Dan ketika menangis itu, Imam Nawawi mambaca al-quran. 

Di usianya yang masih muda beliau sudah mampu menghafal seluruh isi kitab at-Tanbih karya Abu Ishaq as-Syairozi hanya dalam waktu empat setengah bulan.  Selain hafal kitab at-Tanbih, beliau juga mampu menghafal kitab al-Muhadzdzab yang juga dikarang oleh Abu Ishaq as-Syairozi.

Setiap hari, beliau disibukkan dengan kajian-kajian ilmiah yang beliau ikuti dari berbagai syeikh atau guru. Tidak kurang dari dua belas kajian yang beliau ikuti tiap harinya. Kajian-kajian tersebut meliputi berbagai bidang ilmu mulai dari ilmu fiqih, hadits, mantiq, ushul fiqh, ushuluddin, tafsir, nahwu dan sharf.[6]

Maka tiap harinya paling tidak beliau habiskan dua belas jam hanya untuk bergelut dengan kitab-kitab dan mendengarkan pelajaran dari guru-gurunya. Kemudian di sisa waktu yang ada beliau isi dengan mengulang pelajaran yang telah ia terima dan manghafal apa yang harus dihafal. Dan paling tidak itu bisa memakan waktu dua belas jam.

Kemudian pertanyaannya adalah jika selama dua puluh empat jam sehari beliau habiskan hanya untuk urusan ilmu, lalu kapan beliau makan, kapan beliau tidur, kapan beliau beribadah, kapan beliau shalat tahajud –mengingat bahwa Imam Nawawi dikenal sebagai ulama yang ahli ibadah--  dan kapan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya? Disinilah letak kemurahan Allah SWT. yang memberikan Imam an-Nawai kelebihan dibanding orang-orang pada umumnya.

 Allah memberikan beliau kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dua kali lipat dari kemampuan orang pada umumnya. Jika orang lain menyelesaikan sesuatu dalam dua hari, maka bagi Imam Nawawi cukup sehari saja. Jika orang lain membutuhkan waktu dua tahun, maka bagi Imam Nawawi cukup setahun saja.[7]  

Sehingga tiap detik yang beliau miliki, dapat beliau gunakan dengan sangat efektif. Dan dengan begitu beliau mampu menghasilkan begitu banyak karya dalam berbagai bidang ilmu, karya yang abadi. Sampai kita pun saat ini dapat merasakan manfaatnya dan insya Allah akan dirasakan juga oleh generasi-generasi berikutnya sampai hari kiamat. 

Di tengah kesibukan beliau mempelajari ilmu syariah, sempat terbersit dalam benak Imam an-Nawawi untuk mempelajari ilmu kedokteran. Maklum, karena kakek beliau adalah seorang dokter. Sehingga beliau pun membeli kitab al-Qonun fi al-Thibb karya Ibnu Sina. Lalu kemudian beliau pun menyibukkan dirinya untuk mempelajari kitab tersebut.

Namun lama kelamaan Imam an-Nawawi merasakan kegalauan dalam hatinya. Sehingga berhari-hari beliau tidak bisa melakukan apa-apa. Hingga akhirnya beliau pun berpikir apa yang yang membuat hatinya gundah. Kemudian beliau meminta petunjuk pada Allah sampai akhirnya beliau sadar bahwa yang membuat hatinya risau selama ini adalah kesibukannya dalam mempelajari ilmu kedokteran.
Sehingga pada saat itu juga beliau menjual kitab tersebut dan mengeluarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu kedokteran dari dalam rumahnya. Dan setelah itu hatinya pun kembali cerah seperti sedia kala.

e.       Guru-guru Imam an-Nawawi

Imam an-Nawawi dalam perjalanan mencari ilmunya telah melibatkan beberapa ulama yang berjasa memberikan beliau pelajaran dalam berbagai ilmu, antara lain :

-          Dalam ilmu fiqih

1.      Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman al-Maghribi
2.      Abu Muhammad Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad bin Ibrahim bin Musa al-Maqdisi
3.      Abu Hafsh Umar bin As’ad bin Abi Ghalib ar-Raba’i al-Arbali
4.      Abu al-Hasan bin sallar bin al-Hasan al-Arbali

-          Dalam ilmu ushul fiqh

1.      Al-Qodhi Abu al-Fath Umar bin Bundar bin Umar bin Ali bin Muhammad at-Taflisi as-Syafi’i (yang mengajarkan al-Muntakhab karya Fakhruddin ar-Razi)
2.      Qodhi al-Qudhoh al-‘Izz Abu al-Mafakhir Muhammad bin Abd al-Qodir bin Abd al-Kholiq bin al-Shoig  

-          Dalam ilmu Nahwu dan Sharf

1.      Fakhruddin al-Maliki (mengajarkan kitab al-Luma’ karya Ibn Junniy)
2.      Al-Syaikh Abu al-Abbas Ahmad bin Salim al-Mishriy
3.      Al-‘Allamah Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Malik al-Jayyani

-          Dalam ilmu hadits

1.      Al-Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa al-Muradi al-Andalusi as-Syafi’i
2.      Al-Syaikh Abu al-Baqo Kholid bin Yusuf bin Sa’d al-Nabulusi

f.       Karya-karya Imam an-Nawawi

Semasa hidupnya Imam an-Nawawi telah melahirkan banyak karya, baik itu dalam ilmu hadits atau ilmu fiqih yang manfaatnya telah dirasakan oleh jutaan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia hingga sekarang.
Karya-karya beliau antara lain :
1.      Al-Minhaj fi Syarh Shohih al-Muslim
2.      Al-Mubhamat
3.      Riyadh al-Shalihin
4.      Al-Adzkar
5.      Al-Arba’un
6.      Al-Taisir fi Mukhtashar al-Irsyad fi ‘Ulum al-Hadits
7.      Al-Tahrir fi Alfadz al-Tanbih
8.      Al-‘Umdah fi Tashhih al-Tanbih
9.      Al-Idhoh fi al-Manasik
10.  Al-Ijaz fi al-Manasik
11.  Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran
12.  Mukhtashar Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran
13.  Mas’alah al-Ghonimah
14.  Al-Qiyam
15.  Al-Fatawa (yang disusun oleh murid beliau, Ibn al-‘Aththar dan yang akan kita bahas sekarang)
16.  Al-Raudhah fi Mukhtashar Syarh al-Rofi’i
17.  Al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab (Imam an-Nawawi wafat ketika menulis pertengahan bab riba lalu kemudian disempurnakan oleh beberapa ulama setelahnya, di antaranya Syeikh Taqiyuddin al-Subki dan al-Ustadz Muhammad Najib al-Muthi’i) [8]

C.   Latar Belakang Penulisan Kitab

Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa Imam an-Nawawi merupakan sosok ulama yang tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Selama enam tahun beliau menimba ilmu, dan selama itu pula beliau tidak pernah meyia-nyiakan waktunya kecuali untuk belajar dan belajar.

Bahkan di jalan pun, ketika beliau pulang atau pergi ke suatu tempat, tidak pernah terlewat untuk mengulang hafalan atau mengingat-ingat kembali apa yang telah ia pelajari.

Setelah enam tahun menimba ilmu dari berbagai ulama, barulah beliau memulai kegiatannya dalam menulis kitab, selain itu beliau juga selalu menyibukkan diri dengan mengisi kajian di berbagai majlis ilmu, memberikan nasihat kepada kaum muslimin dan para penguasa pada zamannya.[9]
 
Setiap ceramah yang beliau berikan di suatu majelis yang berisi tentang fatwa-fatwa beliau, selalu ditulisnya. Dan lama kelamaan, seiring dengan semakin banyaknya ceramah tentang fatwa yang beliau sampaikan di setiap majelis ilmu, maka tulisannya pun semakin menumpuk.

Namun bentuk tulisan yang ditulis oleh Imam Nawawi saat itu masih belum tersusun secara sistematis, melainkan masih secara insidental. Sebagaimana khutbah Imam Nawawi yang dikutip oleh Ibn al-‘Aththar dalam muqadimah kitab, “(dalam menulis kitab fatawa) Aku tidak memperhatikan penyusunannya. Melainkan ditulis berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi (insidental). Maka jika semuanya telah sempurna, aku harap tulisan-tulisan tersebut bisa disusun dengan baik.”[10]  

Maka adalah salah seorang murid beliau yang berjasa menyusun kembali tulisan-tulisan yang berisi fatwa-fatwa Imam an-Nawawi di setiap majlis ilmu yang beliau isi. Dia adalah ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar atau yang sering dipanggil dengan Ibnu al-‘Aththar.

a.      Profil singkat penyusun kitab

Nama lengkapnya adalah ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin Daud bin Salman bin Sulaiman Abu al-Hasan ibn al-‘Aththar as-Syafi’i. Ia lahir pada hari raya Idul Fithri tahun 654 H atau 1256 M. Ayahnya adalah seorang tukang minyak wangi (‘aththar) dan kakeknya adalah seorang dokter.
Karena kedekatannya dengan Imam an-Nawawi ia sering disebut sebagai Mukhtashar an-Nawawi (ringkasan Imam an-Nawawi), maka ia pun dijuluki dengan sebutan al-Mukhtashar.

b.      Hubungan Ibn al-‘Aththar dengan Imam an-Nawawi

Ibn al-‘Aththar merupakan salah seorang murid Imam Nawawi yang paling beliau cintai. Dan hal tersebut tidak mengherankan karena memang Ibnu al-‘Aththar sangat sering bertemu dan ber-mulazamah dengan beliau, mendengarkan ceramah-ceramah beliau dan mendengarkan pelajaran-pelajaran yang beliau sampaikan.

Hingga pada suatu saat sampai ke telinganya sebuah kabar bahwa Imam an-Nawawi sedang sakit. Maka ia pun berangkat ke Damaskus untuk menjenguknya. Dan beliau merasa senang dengan kedatangannya.[11] Sehingga ia pun mendapatkan kedudukan dan perhatian khusus dari Imam an-Nawawi.

Dan inilah yang memberikan kepercayaan kepada Imam an-Nawawi terhadap Ibn al’Aththar untuk menyusun fatwa-fatwa beliau sehingga menjadi sebuah kitab yang bernama Fatawa al-Imam an-Nawawi al-Musammah bi al-Masail al-Mantsuroh.

Selain dipercaya untuk menyusun kitab Fatawa al-Imam an-Nawawi, Ibn al-‘Aththar juga dipercaya untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ada pada karya-karya yang disusun oleh Imam Nawawi. Sehingga puncaknya ketika Imam Nawawi sedang menulis kitab Syarh al-Muhadzdzab, beliau berkata kepada Ibn al-‘Aththar, “Jika suatu saat aku dipanggil oleh Allah SWT. maka sempurnakanlah olehmu kitab Syarh al-Muhadzdzab ini.”[12]

Namun sayang Ibn al-‘Aththar tidak ditakdirkan untuk menyempurnakan kitab Syarh al-Muhadzdzab. Melainkan ulama-ulama lain setelahnya seperti Syeikh Taqiyuddin al-Subki dan al-Ustadz Muhammad Najib al-Muthi’i.

D.  Metode Penulisan Kitab

Kitab Fatawa al-Imam an-Nawawi yang ditulis ulang dan disusun oleh Ibn al’-Aththar, penyusunannya dilakukan secara sistematis berdasarkan bab-bab fiqih.  dimulai dari kitab at-thoharoh dan diakhiri dengan bab ar-roqoiq wa al-mantsurot.

Selain menulis ulang tulisan-tulisan Imam an-Nawawi, Ibn al-‘Aththar juga menambahkan masalah-masalah yang ia dengar dari pembahasan-pembahasan yang disampaikan oleh Imam Nawawi di dalam ceramahnya namun tidak tertulis oleh Imam Nawawi sendiri.

Ibnu al-‘Aththar juga menambahkan bab-bab diluar fiqih yang diletakkan di bagian akhir kitab. Ada 4 bab yang dimuat oleh beliau yang tidak berkaitan dengan fiqih antara lain : bab fi al-tafsir, bab fi al-hadits, bab fi masail min al-ushul dan bab fi ar-roqoiq wa al-mantsurat.

Imam Nawawi selalu menyebutkan orang yang mengatakan atau menukil istilah-istilah atau kalimat-kalimat yang dianggap asing yang tertulis dalam kitab al-fatawa ini. Dan ini merupakan bagian dari amanah ilmiah yang dijaga oleh beliau. 

Dalam kitabnya Bustan al-‘Arifin, Imam Nawawi berkata, “Termasuk bagian dari nasihat, menyandarkan suatu perkataan yang memiliki makna yang dianggap asing kepada orang yang mengataknnya. Barangsiapa yang melakukan hal itu maka akan diberkahi dalam ilmu dan keadaannya, dan barangsiapa yang menjadikan perkataan orang lain seolah-olah perkataannya sendiri maka ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak akan diberkahi dalam keadannya.”[13]

Dalam menuliskan fatwanya, beliau tidak menyebutkan khilaf di antara para ulama, melainkan hanya mencantumkan pendapat yang menurut beliau paling benar. Kecuali pada sebagian kecil permasalahan yang memang perlu untuk dijelaskan pendapat berbagai ulama di dalamnya.

Fatwa-fatwa Imam Nawawi yang dicantumkan dalam kitab ini, ditulis baik secara langsung dengan mencantumkan pernyataan yang berupa fatwa, ataupun dengan menuliskannya dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh orang yang awam dan asing dengan kitab-kitab karya para ulama sekaliber Imam an-Nawawi.






















































[1] Kunyah adalah Sebuah nama yang dilekatkan pada seseorang dengan tujuan untuk mengagungkannya atau sebagai tanda. Biasanya terdiri dari kata Abu, Ibnu, Ummu atau Bintu. Lih. Al-Munjid fi al-A’lam wa al-Lughah. Dar al-Masyriq, Beirut-Libanon 1987, hal. 701
[2] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 39
[3] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 39
[4] Al-Munhal al-‘Adzb ar-Rowi fi Tarjamah Quthob al-Auliya an-Nawawi, Abdurrahman as-Sakhowi. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut-Libanon 2005, hal. 47
[5] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 42
[6] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 49
[7] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 50
[8] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 80
[9] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 64
[10] Fatawa al-Imam an-Nawawi, Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Dar al-Basyair al-Islamiyah 1417 H/1996 M, hal. 10
[11] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal.28
[12] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 53
[13] Bustan al-‘Arifin, Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Dar ar-Rayyan li al-Turats, hal. 15

1 komentar: