A. Pengantar
Sebagai seorang thalib
al-‘ilm atau pencari ilmu dalam hal ini ilmu agama dan lebih khususnya lagi
ilmu syariah, sudah sepantasnya dan seharusnya dapat lebih banyak mengenal dan
berinteraksi dengan kutub turats atau kitab-kitab klasik karya
ulama-ulama terdahulu. Karena melewati kitab-kitab tersebut kita dapat
mempelajari banyak hal dari pemikiran mereka dalam mepraktekkan ajaran agama
yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersumber dari al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Dalam
berinteraksi dengan kitab-kitab klasik tersebut dibutuhkan pengetahuan yang
komprehensif. Tidak hanya memahami isi kandungannya, tapi juga seorang tholib
al-‘ilm sebaiknya memiliki pemahaman tentang seluk beluk penulisannya. Antara
lain mengetahui profil penulis, latar belakang, dan metode penulisannya.
Untuk itu, kali
ini penulis akan mencoba mengupas sebuah kitab yang memuat fatwa-fatwa
berkaitan dengan hukum fiqih yang dikeluarkan oleh salah seorang ulama
fenomenal dari rentetan ulama-ulama
syafi’iyyah, ulama yang sangat berpengaruh dalam penyebaran madzhab Imam
as-Syafi’i, bahkan ulama yang satu ini dikenal sebagai muhaqqiq dan muharrir
madzhab syafi’i. Beliau adalah Imam an-Nawawi.
Dan kitab yang
dimaksud adalah kitab Fatawa al-Imam an-Nawawi al-Musammah bi al-Masail
al-Mantsuroh yang disusun oleh murid Imam an-Nawawi sendiri yaitu ‘Alauddin
‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Tentunya kitab ini menjadi salah satu
referensi penting umat islam khususnya di Indonesia, mengingat kebanyakan masyarakat
di Indonesia adalah pengikut madzhab syafi’i.
Dan seperti yang
kita ketahui bahwa dalam madzhab syafi’i dikenal istilah syaikhon (dua
syeikh). Dua syeikh yang dimaksud adalah Imam Nawawi dan Rafi’i. Pendapat kedua
ulama ini, oleh generasi ulama syafi’iyah setelahnya dijadikan sebagai rujukan
utama dalam ilmu fiqih. dan Imam Nawawi mendapat prioritas yang lebih tinggi
dibanding Imam Rafi’i. Sehingga jika ada perbedaan pendapat antara keduanya,
maka pendapat yang diambil adalah pendapat Imam Nawawi.
Dengan tulisan
ini, mudah-mudahan bisa lebih mengenalkan kita terhadap kitab turats
yang satu ini, dan dapat mangambil faedah dari kehidupan penulisnya yang sangat
inspiratif dan sarat dengan hikmah terutama bagi para pecinta ilmu.
B. Profil Penulis
a. Nama, Julukan dan Kunyah[1]
Mempunyai nama lengkap Abu Zakaria Yahya
bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husein bin Muhammad Jum’ah bin Hizam
al-Hizami an-Nawawi. Yang menarik dari nama ini adalah kunyah beliau
yaitu Abu Zakaria yang berarti ayah Zakaria yang menunjukkan seakan-akan beliau
memiliki putra bernama Zakaria walaupun sebenarnya beliau tidak pernah memiliki
anak. Karena semasa hidupnya beliau tidak pernah menikah.[2]
Para ulama yang menulis tentang biografi Imam an-Nawawi
sering menjuluki beliau dengan sebutan Muhyiddin yang memiliki arti
orang yang menghidupkan agama. Julukan tersebut tentu saja bertujuan untuk
menghormati dan menghargai beliau atas jasa-jasa yang tidak terhingga untuk
menyebarkan ilmu dan menghasilkan karya-karya yang sangat bermanfaat dalam
penyebaran ajaran islam, bukan hanya dirasakan oleh umat islam di negeri-negeri
Arab tapi juga oleh umat Islam di seluruh dunia.
Walaupun
sebenarnya Imam an-Nawawi sendiri tidak suka dirinya dijuluki dengan sebutan
tersebut karena ke-tawadhu’-an dan ketakutan beliau menjadi bagian dari
orang-orang yang Allah cela dalam al-quran surat an-Najm ayat 32 : “...maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci...”. Beliau sendiri pernah berkata,
“Aku tidak menghalalkan orang lain menjuluki aku dengan sebutan Muhyiddin”.[3]
b. Akhlak Imam an-Nawawi
Beliau merupakan ulama besar yang sangat produktif
sehingga beliau mampu menghasilkan segudang karya dalam ilmu hadits dan ilmu
fiqih. Tiga dari karyanya yang sangat populer, bahkan dapat kita temukan hampir
di setiap pesantren di Indonesia antara lain adalah kitab al-Adzkar,
al-Arba’un an-Nawawiyah dan Riyadh al-Sholihin.
Selian dikenal sebagai ulama yang produktif, beliau juga
dikenal sebagai ulama yang zuhud dan wara’. Sehingga karena
begitu sibuknya beliau dengan menghasilkan karya-karya ilmiah, diriwayatkan
bahwa beliau pernah ditanya, “mengapa engkau tidak menikah?” belia menjawab,
“Aku lupa!”.
Di antara akhlak beliau yang menunujukkan sifat wara’-nya
adalah bahwa beliau tidak pernah menerima hadiah atau pemberian dari siapapun
kecuali dari orangtua dan kerabatnya. Dalam sehari beliau hanya makan sekali
saja yaitu sehabis isya dan minum pun hanya sekali yaitu di waktu sahur.
Hebatnya lagi Imam an-Nawawi selama hidupnya hampir tidak
pernah makan dengan dua macam lauk, melainkan ia hanya makan dengan satu macam
lauk saja walaupun segala jenis makanan tersedia di hadapannya. Dan beliau
makan daging hanya sekali dalam satu bulan.[4]
c. Lahir dan Wafat
Beliau lahir di pertengahan bulan Muharram tahun 631 H di
sebuah desa bernama Nawa yang terletak di Damaskus, Suriah. Beliau
tinggal disana selama 28 tahun, sehingga nama beliau pun di nisbatkan kepada
desa tersebut karena sebagaimana satu kaidah yang disebutkan oleh ‘Abdullah bin
al-Mubarak, “Barangsiapa yang tinggal di suatu tempat selama empat tahun, maka
ia berhak dinisbatkan kepada tempat tersebut.”[5]
Setelah melakukan ziarah ke Baitul Maqdis, pada sepertiga
malam terakhir tanggal dua puluh empat bulan Rajab tahun 676 H beliau meninggal
dunia di tempat beliau lahir yaitu di desa Nawa dan beliau pun
disemayamkan di pagi harinya.
d. Kecintaan Terhadap Ilmu
Kecintaan Imam Nawawi terhadap ilmu sudah tampak sejak usianya
masih belia. Imam Nawawi selalu menolak ajakan teman-teman sebayanya untuk
bermain. Bahkan suatu saat teman-temannya memaksanya untuk ikut bermain sampai
akhirnya dia menangis. Dan ketika menangis itu, Imam Nawawi mambaca al-quran.
Di usianya yang masih muda beliau sudah mampu menghafal
seluruh isi kitab at-Tanbih karya Abu Ishaq as-Syairozi hanya
dalam waktu empat setengah bulan. Selain hafal kitab at-Tanbih, beliau
juga mampu menghafal kitab al-Muhadzdzab yang juga dikarang oleh Abu
Ishaq as-Syairozi.
Setiap hari, beliau disibukkan dengan kajian-kajian
ilmiah yang beliau ikuti dari berbagai syeikh atau guru. Tidak kurang dari dua
belas kajian yang beliau ikuti tiap harinya. Kajian-kajian tersebut meliputi
berbagai bidang ilmu mulai dari ilmu fiqih, hadits, mantiq, ushul fiqh,
ushuluddin, tafsir, nahwu dan sharf.[6]
Maka tiap harinya paling tidak beliau habiskan dua belas
jam hanya untuk bergelut dengan kitab-kitab dan mendengarkan pelajaran dari
guru-gurunya. Kemudian di sisa waktu yang ada beliau isi dengan mengulang pelajaran
yang telah ia terima dan manghafal apa yang harus dihafal. Dan paling tidak itu
bisa memakan waktu dua belas jam.
Kemudian pertanyaannya adalah jika selama dua puluh empat
jam sehari beliau habiskan hanya untuk urusan ilmu, lalu kapan beliau makan,
kapan beliau tidur, kapan beliau beribadah, kapan beliau shalat tahajud
–mengingat bahwa Imam Nawawi dikenal sebagai ulama yang ahli ibadah-- dan kapan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
lainnya? Disinilah letak kemurahan Allah SWT. yang memberikan Imam an-Nawai
kelebihan dibanding orang-orang pada umumnya.
Allah memberikan
beliau kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dua kali lipat dari kemampuan orang
pada umumnya. Jika orang lain menyelesaikan sesuatu dalam dua hari, maka bagi
Imam Nawawi cukup sehari saja. Jika orang lain membutuhkan waktu dua tahun,
maka bagi Imam Nawawi cukup setahun saja.[7]
Sehingga tiap detik yang beliau miliki, dapat beliau
gunakan dengan sangat efektif. Dan dengan begitu beliau mampu menghasilkan
begitu banyak karya dalam berbagai bidang ilmu, karya yang abadi. Sampai kita
pun saat ini dapat merasakan manfaatnya dan insya Allah akan dirasakan juga
oleh generasi-generasi berikutnya sampai hari kiamat.
Di tengah kesibukan beliau mempelajari ilmu syariah,
sempat terbersit dalam benak Imam an-Nawawi untuk mempelajari ilmu kedokteran. Maklum,
karena kakek beliau adalah seorang dokter. Sehingga beliau pun membeli kitab al-Qonun
fi al-Thibb karya Ibnu Sina. Lalu kemudian beliau pun menyibukkan dirinya
untuk mempelajari kitab tersebut.
Namun lama kelamaan Imam an-Nawawi merasakan kegalauan
dalam hatinya. Sehingga berhari-hari beliau tidak bisa melakukan apa-apa.
Hingga akhirnya beliau pun berpikir apa yang yang membuat hatinya gundah.
Kemudian beliau meminta petunjuk pada Allah sampai akhirnya beliau sadar bahwa
yang membuat hatinya risau selama ini adalah kesibukannya dalam mempelajari
ilmu kedokteran.
Sehingga pada saat itu juga beliau menjual kitab tersebut
dan mengeluarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu kedokteran dari
dalam rumahnya. Dan setelah itu hatinya pun kembali cerah seperti sedia kala.
e. Guru-guru Imam an-Nawawi
Imam an-Nawawi
dalam perjalanan mencari ilmunya telah melibatkan beberapa ulama yang berjasa
memberikan beliau pelajaran dalam berbagai ilmu, antara lain :
- Dalam ilmu fiqih
1.
Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman al-Maghribi
2.
Abu Muhammad Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad bin
Ibrahim bin Musa al-Maqdisi
3.
Abu Hafsh Umar bin As’ad bin Abi Ghalib ar-Raba’i
al-Arbali
4.
Abu al-Hasan bin sallar bin al-Hasan al-Arbali
- Dalam ilmu ushul fiqh
1.
Al-Qodhi Abu al-Fath Umar bin Bundar bin Umar bin
Ali bin Muhammad at-Taflisi as-Syafi’i (yang mengajarkan al-Muntakhab
karya Fakhruddin ar-Razi)
2.
Qodhi al-Qudhoh al-‘Izz Abu al-Mafakhir Muhammad
bin Abd al-Qodir bin Abd al-Kholiq bin al-Shoig
- Dalam ilmu Nahwu dan Sharf
1.
Fakhruddin al-Maliki (mengajarkan kitab al-Luma’
karya Ibn Junniy)
2.
Al-Syaikh Abu al-Abbas Ahmad bin Salim al-Mishriy
3.
Al-‘Allamah Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin
Malik al-Jayyani
- Dalam ilmu hadits
1.
Al-Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa
al-Muradi al-Andalusi as-Syafi’i
2.
Al-Syaikh Abu al-Baqo Kholid bin Yusuf bin Sa’d
al-Nabulusi
f. Karya-karya Imam an-Nawawi
Semasa hidupnya
Imam an-Nawawi telah melahirkan banyak karya, baik itu dalam ilmu hadits atau
ilmu fiqih yang manfaatnya telah dirasakan oleh jutaan kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia hingga sekarang.
Karya-karya
beliau antara lain :
1.
Al-Minhaj fi Syarh Shohih al-Muslim
2.
Al-Mubhamat
3.
Riyadh al-Shalihin
4.
Al-Adzkar
5.
Al-Arba’un
6.
Al-Taisir fi Mukhtashar al-Irsyad fi ‘Ulum
al-Hadits
7.
Al-Tahrir fi Alfadz al-Tanbih
8.
Al-‘Umdah fi Tashhih al-Tanbih
9.
Al-Idhoh fi al-Manasik
10.
Al-Ijaz fi al-Manasik
11.
Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran
12.
Mukhtashar Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran
13.
Mas’alah al-Ghonimah
14.
Al-Qiyam
15.
Al-Fatawa (yang disusun oleh murid beliau, Ibn
al-‘Aththar dan yang akan kita bahas sekarang)
16.
Al-Raudhah fi Mukhtashar Syarh al-Rofi’i
17.
Al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab (Imam an-Nawawi
wafat ketika menulis pertengahan bab riba lalu kemudian disempurnakan oleh
beberapa ulama setelahnya, di antaranya Syeikh Taqiyuddin al-Subki dan al-Ustadz
Muhammad Najib al-Muthi’i) [8]
C. Latar Belakang Penulisan Kitab
Sebagaimana yang
telah dibahas sebelumnya, bahwa Imam an-Nawawi merupakan sosok ulama yang tidak
pernah menyia-nyiakan waktu. Selama enam tahun beliau menimba ilmu, dan selama
itu pula beliau tidak pernah meyia-nyiakan waktunya kecuali untuk belajar dan
belajar.
Bahkan di jalan
pun, ketika beliau pulang atau pergi ke suatu tempat, tidak pernah terlewat
untuk mengulang hafalan atau mengingat-ingat kembali apa yang telah ia
pelajari.
Setelah enam
tahun menimba ilmu dari berbagai ulama, barulah beliau memulai kegiatannya
dalam menulis kitab, selain itu beliau juga selalu menyibukkan diri dengan
mengisi kajian di berbagai majlis ilmu, memberikan nasihat kepada kaum muslimin
dan para penguasa pada zamannya.[9]
Setiap ceramah
yang beliau berikan di suatu majelis yang berisi tentang fatwa-fatwa beliau,
selalu ditulisnya. Dan lama kelamaan, seiring dengan semakin banyaknya ceramah
tentang fatwa yang beliau sampaikan di setiap majelis ilmu, maka tulisannya pun
semakin menumpuk.
Namun bentuk tulisan
yang ditulis oleh Imam Nawawi saat itu masih belum tersusun secara sistematis,
melainkan masih secara insidental. Sebagaimana khutbah Imam Nawawi yang dikutip
oleh Ibn al-‘Aththar dalam muqadimah kitab, “(dalam menulis kitab fatawa)
Aku tidak memperhatikan penyusunannya. Melainkan ditulis berdasarkan peristiwa-peristiwa
yang terjadi (insidental). Maka jika semuanya telah sempurna, aku harap
tulisan-tulisan tersebut bisa disusun dengan baik.”[10]
Maka adalah salah
seorang murid beliau yang berjasa menyusun kembali tulisan-tulisan yang berisi
fatwa-fatwa Imam an-Nawawi di setiap majlis ilmu yang beliau isi. Dia adalah ‘Alauddin
‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar atau yang sering dipanggil dengan Ibnu
al-‘Aththar.
a. Profil singkat penyusun kitab
Nama lengkapnya
adalah ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin Daud bin Salman bin Sulaiman Abu al-Hasan
ibn al-‘Aththar as-Syafi’i. Ia lahir pada hari raya Idul Fithri tahun 654 H
atau 1256 M. Ayahnya adalah seorang tukang minyak wangi (‘aththar) dan
kakeknya adalah seorang dokter.
Karena
kedekatannya dengan Imam an-Nawawi ia sering disebut sebagai Mukhtashar
an-Nawawi (ringkasan Imam an-Nawawi), maka ia pun dijuluki dengan sebutan al-Mukhtashar.
b. Hubungan Ibn al-‘Aththar dengan Imam an-Nawawi
Ibn al-‘Aththar merupakan
salah seorang murid Imam Nawawi yang paling beliau cintai. Dan hal tersebut
tidak mengherankan karena memang Ibnu al-‘Aththar sangat sering bertemu dan
ber-mulazamah dengan beliau, mendengarkan ceramah-ceramah beliau dan
mendengarkan pelajaran-pelajaran yang beliau sampaikan.
Hingga pada suatu
saat sampai ke telinganya sebuah kabar bahwa Imam an-Nawawi sedang sakit. Maka
ia pun berangkat ke Damaskus untuk menjenguknya. Dan beliau merasa senang
dengan kedatangannya.[11] Sehingga ia pun
mendapatkan kedudukan dan perhatian khusus dari Imam an-Nawawi.
Dan inilah yang
memberikan kepercayaan kepada Imam an-Nawawi terhadap Ibn al’Aththar untuk
menyusun fatwa-fatwa beliau sehingga menjadi sebuah kitab yang bernama Fatawa
al-Imam an-Nawawi al-Musammah bi al-Masail al-Mantsuroh.
Selain dipercaya
untuk menyusun kitab Fatawa al-Imam an-Nawawi, Ibn al-‘Aththar juga
dipercaya untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ada pada karya-karya yang
disusun oleh Imam Nawawi. Sehingga puncaknya ketika Imam Nawawi sedang menulis
kitab Syarh al-Muhadzdzab, beliau berkata kepada Ibn al-‘Aththar, “Jika
suatu saat aku dipanggil oleh Allah SWT. maka sempurnakanlah olehmu kitab Syarh
al-Muhadzdzab ini.”[12]
Namun sayang Ibn
al-‘Aththar tidak ditakdirkan untuk menyempurnakan kitab Syarh al-Muhadzdzab.
Melainkan ulama-ulama lain setelahnya seperti Syeikh Taqiyuddin al-Subki dan
al-Ustadz Muhammad Najib al-Muthi’i.
D. Metode Penulisan Kitab
Kitab Fatawa
al-Imam an-Nawawi yang ditulis ulang dan disusun oleh Ibn al’-Aththar,
penyusunannya dilakukan secara sistematis berdasarkan bab-bab fiqih. dimulai dari kitab
at-thoharoh dan diakhiri dengan bab ar-roqoiq wa al-mantsurot.
Selain menulis
ulang tulisan-tulisan Imam an-Nawawi, Ibn al-‘Aththar juga menambahkan
masalah-masalah yang ia dengar dari pembahasan-pembahasan yang disampaikan oleh
Imam Nawawi di dalam ceramahnya namun tidak tertulis oleh Imam Nawawi sendiri.
Ibnu al-‘Aththar
juga menambahkan bab-bab diluar fiqih yang diletakkan di bagian akhir kitab.
Ada 4 bab yang dimuat oleh beliau yang tidak berkaitan dengan fiqih antara lain
: bab fi al-tafsir, bab fi al-hadits, bab fi masail min al-ushul dan bab
fi ar-roqoiq wa al-mantsurat.
Imam Nawawi
selalu menyebutkan orang yang mengatakan atau menukil istilah-istilah atau
kalimat-kalimat yang dianggap asing yang tertulis dalam kitab al-fatawa
ini. Dan ini merupakan bagian dari amanah ilmiah yang dijaga oleh beliau.
Dalam kitabnya
Bustan al-‘Arifin, Imam Nawawi berkata, “Termasuk bagian dari nasihat,
menyandarkan suatu perkataan yang memiliki makna yang dianggap asing kepada
orang yang mengataknnya. Barangsiapa yang melakukan hal itu maka akan diberkahi
dalam ilmu dan keadaannya, dan barangsiapa yang menjadikan perkataan orang lain
seolah-olah perkataannya sendiri maka ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak
akan diberkahi dalam keadannya.”[13]
Dalam menuliskan
fatwanya, beliau tidak menyebutkan khilaf di antara para ulama, melainkan hanya
mencantumkan pendapat yang menurut beliau paling benar. Kecuali pada sebagian
kecil permasalahan yang memang perlu untuk dijelaskan pendapat berbagai ulama di
dalamnya.
Fatwa-fatwa Imam
Nawawi yang dicantumkan dalam kitab ini, ditulis baik secara langsung dengan
mencantumkan pernyataan yang berupa fatwa, ataupun dengan menuliskannya dalam
bentuk pertanyaan dan jawaban. Menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah
dipahami oleh orang yang awam dan asing dengan kitab-kitab karya para ulama
sekaliber Imam an-Nawawi.
[1]
Kunyah adalah Sebuah nama yang dilekatkan pada seseorang
dengan tujuan untuk mengagungkannya atau sebagai tanda. Biasanya terdiri dari
kata Abu, Ibnu, Ummu atau Bintu. Lih. Al-Munjid fi al-A’lam wa
al-Lughah. Dar al-Masyriq, Beirut-Libanon 1987, hal. 701
[2] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah
al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar
al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 39
[3] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah
al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar
al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 39
[4] Al-Munhal al-‘Adzb ar-Rowi fi Tarjamah
Quthob al-Auliya an-Nawawi, Abdurrahman as-Sakhowi. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
Beirut-Libanon 2005, hal. 47
[5] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah
al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar
al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 42
[6] Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah
al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar
al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 49
[7]
Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah
al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar
al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 50
[8]
Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah
al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar
al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 80
[9]
Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah
al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar
al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 64
[10]
Fatawa al-Imam an-Nawawi, Alauddin
‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Dar al-Basyair al-Islamiyah 1417 H/1996 M,
hal. 10
[11]
Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah
al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar
al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal.28
[12]
Tuhfah al-Thalibin fi Tarjamah
al-Imam Muhyiddin, ‘Alauddin ‘Ali bin Ibrahim bin al-‘Aththar. Al-Dar
al-Atsariyah Yordania 1428 H/2007 M, hal. 53
[13]
Bustan al-‘Arifin, Abu Zakaria
Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Dar ar-Rayyan li al-Turats, hal. 15
subhanallah, begitu hebat ulama' yang dikagumi dunia ini
BalasHapus