Kamis, 06 Juni 2013

Posted by Unknown | File under :




Dewasa ini, sudah menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan telah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial kita. Tidak terkecuali dalam masalah-masalah fikih dengan perkembangannya dari masa ke masa seiring berkembangnya taraf hidup manusia yang dinamis di segala bidang kehidupannya yang menuntut adanya hal-hal baru yang tidak ditemukan hukumnya secara eksplisit di dalam Al-quran dan As-sunnah.

Dan kenyataannya bahwa perbedaan tersebut bukanlah hal baru di kalangan para ulama dan mujtahidin, karena hal tersebut sejatinya sudah terjadi sejak wahyu itu diturunkan kepada Rasulullah SAW di kalangan para sahabat. Contohnya adalah ketika peristiwa perang dengan Bani Quraidzah, ketika itu Rasulullah SAW bersama kaum muslimin di Madinah akan berangkat menuju bani quraidzah untuk berperang, namun ketika itu sudah tiba waktu Ashar, kemudian Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabat yang ikut berperang untuk tidak salat Ashar terlebih dahulu namun rasul memerintahkan agar salat Asharnya dilakukan ketika sudah sampai di tempat Bani Quraidzah. Maka dari sana para sahabat berbeda pendapat ada yang melakukan salatnya di tengah perjalanan, karena takut waktu salat Ashar akan terlewat mengingat bahwa perjalanan dari Madinah menuju Bani Quraidzah cukup jauh dan memakan waktu yang lama. Dan ada pula di antara mereka yang melakukan salat Ashar sesuai perintah Nabi. Maka ketika Rasulullah SAW mengetahui hal tersebut, beliau tidak menyalahkan salah satunya. Itu artinya, pendapat kedua kelompok sahabat itu semuanya benar.
Maka merupakan suatu kekeliruan besar jika ada orang yang menganggap bahwa ikhtilaf itu merupakan suatu hal yang harus dihindari dan tidak boleh terjadi. Namun tentu tidak semua jenis ikhtilaf masuk ke dalam kategori ikhtilaf yang diperbolehkan, karena para ulama membaginya ke dalam dua jenis ikhtilaf, yaitu ikhtilaf yang diperbolehkan dan ikhtilaf yang tidak bisa ditolerir.
Untuk kategori yang pertama yaitu ikhtilaf yang diperbolehkan, menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi dalam buku fiqhul ikhtilaf nya yang termasuk dalam kategori ini adalah perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’ (cabang) dan masalah ushul yang tidak prinsipiil. Sedangkan jika ada perbedaan dalam masalah ushul yang prinsipiil maka itu termasuk ke dalam kategori yang kedua yaitu ikhtilaf yang tidak diperbolehkan.
Sedangkan Syaikh Yasir Husain Mahmud Barhami salah satu ulama kontemporer yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh ulama-ulama salafi seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan juga Syaikh Al-Albani, menolak adanya pembagian permasalahan-permasalahan fiqih yang termasuk dalam kategori ikhtilaf yang diperbolehkan ke dalam masalah furu’ dan ushul.
Menurut beliau di dalam bukunya yang berjudul Fiqh Al-khilaf Baina Al-Muslimin bahwa yang termasuk ke dalam kategori ikhtilaf yang dibolehkan adalah ikhtilaf dalam masalah-masalah yang tidak bertentangan dengan  Nash-nash syar’i baik itu dari Al-Quran, As-Sunnah, ijma’ para sahabat atau pun qiyas jali (yaitu qiyas yang ‘illah atau sebabnya sudah disebutkan secara eksplisit di dalam Nash syar’i baik itu dalam al-quran ataupun as-sunnah). Sedangkan permasalahan-permasalahan yang hukumnya sudah jelas ditunjukkan dengan dalil-dalil qoth’i maka tidak boleh ada lagi perbedaan mengenai penentuan hukumnya, baik itu berkaitan dengan masalah ‘amaliyah ataupun i’tiqodiyah.
Terlepas dari perbedaan pendapat di antara kedua ulama di atas, tentunya kedua ulama tersebut sepakat bahwa ikhtilaf atau perbedaan pendapat di antara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah fiqih yang merupakan hasil sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan adalah fenomena yang normal dan wajar, hal tersebut didasari oleh dua hal :
·         Tabiat teks-teks dalil syar’i yang potensial untuk diperbedakan dan  diperselisihkan
·         Tabiat akal manusia yang beragam tingkat daya pikirnya dan bertingkat-tingkat   kemampuan pemahamannya
Dan seperti yang sudah disinggung diatas bahwa fenomena ikhtilaf yang terjadi diantara para ulama dan mujtahidin merupakan fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf dan merupakan realita yang diakui. Namun meskipun mereka berbeda pendapat tetapi tidak ada yang saling mencela ataupun menyalahkan pendapat orang lain. Tapi semuanya saling menghargai dan menghormati pendapatnya masing-masing. Teladan tersebut dapat kita temui dalam sejarah perjalanan ulama salaf terdahulu. Berikut ini beberapa contohnya :
1.      Al-Imam Yahya Ibn Sai’d Al-Anshari berkata : “Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga dalam masalah tertentu ada yang yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain.
2.      Al-Imam Yunus Ibn Abdul A’la Ash-Shadafi (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata : “Aku tidak mendapati  orang yang lebih berakal (cerdas) dari Imam Asy-Syafi’i. Suatu hari aku pernah berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : “Hai Abu Musa tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun (tentu dalam masalah-masalah ijtihadiyah).
3.      Ulama salaf (salah satunya Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata, “Pendapatku, menurutku adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
4.      Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan di antara ulama fikih, aku tidak pernah melarang siapa pun di antara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada”.
5.      Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (dalam riwayat lain Harun Ar-Rasyid) pernah berazam untuk menetapkan kitab Al-muwaththa karya Imam Malik sebagai kitab yang wajib diikuti oleh seluruh umat Islam. Namun Imam Malik sendiri justru menolak hal itu dan meminta agar umat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti mazhab yang terlebih dahulu mereka anut.
6.      Khalifah Harun Ar-Rasyid berbekam lalu langsung mengimami salat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf (murid dan sahabat Imam Abu Hanifah) pun ikut salat bermakmum dibelakang beliau, padahal berdasarkan mazhab Hanafi berbekam itu membatalkan wudu.
7.      Imam Abu Hanifah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surat al-fatihah, biasa salat bermakmum di belakang imam-imam salat di kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam salat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah baik pelan ,maupun keras.
8.      Imam As-Syafi’i pernah salat subuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana mazhab beliau) dan itu beliau lakukan “hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah telah wafat tepat ketika Imam Syafi’i lahir.
Begitulah kisah-kisah teladan dari ulama salaf dalam usaha mereka untuk memelihara persatuan umat di atas perbedaan mereka dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Karena sejatinya perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah perbedaan yang bersifat variatif (ikhtilaf tanawwu’) yang artinya perbedaan tersebut bukanlah sebuah bencana yang harus dihindari, tapi justru merupakan hal yang baik dan positif karena perbedaan tersebut dapat mengindikasikan tabiat syariat islam sebagai syariat yang luwes dan fleksibel.
Lain halnya jika perbedaan tersebut sudah mengarah pada ikhtilaf tadhaadh (perbedaan yang bersifat kontradiktif) seperti halnya perbedaan aqidah antara syi’ah dan ahlussunnah waljama’ah, atau perbedaan aqidah antara kaum muslimin (ahlussunnah waljama’ah) dan Ahmadiyah tentang finalitas kenabian Nabi Muhammad SAW, maka yang demikian itu sudah tidak dapat ditolerir lagi karena sudah jelas bertentangan dengan apa yang dijelaskan di dalam Al-quran dan Hadits-hadits Shahih secara tegas dan lugas. 
Sekarang saatnya kita lihat realita yang ada di masyarakat kita sekarang ini. Sesuatu yang memprihatinkan memang, ketika kita melihat ada saudara-saudara kita sesama muslim yang saling mencela satu sama lain, hanya karena berbeda dalam masalah-masalah sepele yang seakan dibesar-besarkan. Padahal kenyataannya hal tersebut sudah lama menjadi bahan perdebatan di antara para ulama dari dulu, tapi mereka tidak pernah ada yang ribut seperti yang terjadi sekarang. Bahkan mereka saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata, “Seandainya tiap kali dua orang muslim berbeda pendapat itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikit pun ikatan ukhuwah di antara kaum muslimin”.
Salah satu faktor yang mendorong terjadinya hal tersebut adalah sikap fanatisme. Fanatisme yang lahir dari kedangkalan ilmu, fanatisme yang lahir dari sikap taklid buta. Apa yang dikatakan oleh kiyainya atau ustadznya, itulah satu-satunya yang dianggap benar, bahkan lebih parah lagi sampai pada derajat pengkultusan. Sehingga jika ada orang yang menyampaikan sesuatu yang baru, yang asing di telinga mereka dan bertentangan dengan apa yang mereka yakini sebelumnya, lantas ditolak mentah-mentah bahkan sampai memusuhi dan memeranginya. Padahal apa yang mereka pertahankan adalah sesuatu yang sifatnya khilafiyah.
Dan tidak jarang juga fanatisme itu timbul karena dilandasi oleh loyalitas dan juga sikap membela dan mempertahankan eksistensi suatu kelompok atau ormas tertentu. Sehingga yang terjadi adalah adanya gap antar kelompok dan ormas-ormas islam yang memicu terjadinya perpecahan umat.
Yang lebih memprihatinkan lagi, ada sebagian orang atau kelompok yang ketika berhadapan dengan orang kafir, orang-orang liberalis dan antek-anteknya yang ingin menghancurkan islam, mereka menampakkan wajah kehangatan dan senyum persahabatan. Tapi ketika berhadapan dengan saudara sesama muslim yang berasal dari kelompok atau golongan lain mereka berpaling dan menampakkan wajah permusuhan. Na’udzu billahi min dzalik.
Ini tentunya sangat kontradiktif dengan apa disampaikan di dalam Al-qur’an surah Al-fath ayat 29 :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...”
Maka di sini perlu adanya rekonstruksi cara berpikir, dan merubah mindset  kita. Sehingga apa yang kita pandang sebagai sebuah perbedaan, selama perbedaan itu masih dapat ditolerir. Maka seharusnya kita pandang itu sebagai ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif), sehingga tidak merusak persatuan umat dan ukhuwah islamiyah.
Karena jika umat islam sudah terpecah belah dan tercerai berai, maka itu hanya akan memperlebar senyum musuh-musuh islam yang memang menginginkan hal itu terjadi.
Wallahu a’lam.


0 komentar:

Posting Komentar