Dewasa ini, sudah
menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan telah menjadi hal yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial kita. Tidak terkecuali dalam
masalah-masalah fikih dengan perkembangannya dari masa ke masa seiring
berkembangnya taraf hidup manusia yang dinamis di segala bidang kehidupannya yang
menuntut adanya hal-hal baru yang tidak ditemukan hukumnya secara eksplisit di
dalam Al-quran dan As-sunnah.
Dan kenyataannya
bahwa perbedaan tersebut bukanlah hal baru di kalangan para ulama dan
mujtahidin, karena hal tersebut sejatinya sudah terjadi sejak wahyu itu diturunkan
kepada Rasulullah SAW di kalangan para sahabat. Contohnya adalah ketika
peristiwa perang dengan Bani Quraidzah, ketika itu Rasulullah SAW bersama kaum
muslimin di Madinah akan berangkat menuju bani quraidzah untuk berperang, namun
ketika itu sudah tiba waktu Ashar, kemudian Rasulullah SAW memerintahkan kepada
para sahabat yang ikut berperang untuk tidak salat Ashar terlebih dahulu namun
rasul memerintahkan agar salat Asharnya dilakukan ketika sudah sampai di tempat
Bani Quraidzah. Maka dari sana para sahabat berbeda pendapat ada yang melakukan
salatnya di tengah perjalanan, karena takut waktu salat Ashar akan terlewat
mengingat bahwa perjalanan dari Madinah menuju Bani Quraidzah cukup jauh dan
memakan waktu yang lama. Dan ada pula di antara mereka yang melakukan salat
Ashar sesuai perintah Nabi. Maka ketika Rasulullah SAW mengetahui hal tersebut,
beliau tidak menyalahkan salah satunya. Itu artinya, pendapat kedua kelompok
sahabat itu semuanya benar.
Maka merupakan
suatu kekeliruan besar jika ada orang yang menganggap bahwa ikhtilaf itu
merupakan suatu hal yang harus dihindari dan tidak boleh terjadi. Namun tentu
tidak semua jenis ikhtilaf masuk ke dalam kategori ikhtilaf yang diperbolehkan,
karena para ulama membaginya ke dalam dua jenis ikhtilaf, yaitu ikhtilaf yang
diperbolehkan dan ikhtilaf yang tidak bisa ditolerir.
Untuk kategori
yang pertama yaitu ikhtilaf yang diperbolehkan, menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi
dalam buku fiqhul ikhtilaf nya yang termasuk dalam kategori ini adalah
perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’ (cabang) dan masalah ushul yang tidak
prinsipiil. Sedangkan jika ada perbedaan dalam masalah ushul yang prinsipiil
maka itu termasuk ke dalam kategori yang kedua yaitu ikhtilaf yang tidak
diperbolehkan.
Sedangkan Syaikh
Yasir Husain Mahmud Barhami salah satu ulama kontemporer yang pemikirannya
banyak dipengaruhi oleh ulama-ulama salafi seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim
dan juga Syaikh Al-Albani, menolak adanya pembagian permasalahan-permasalahan
fiqih yang termasuk dalam kategori ikhtilaf yang diperbolehkan ke dalam masalah
furu’ dan ushul.
Menurut beliau di
dalam bukunya yang berjudul Fiqh Al-khilaf Baina Al-Muslimin bahwa yang
termasuk ke dalam kategori ikhtilaf yang dibolehkan adalah ikhtilaf dalam
masalah-masalah yang tidak bertentangan dengan
Nash-nash syar’i baik itu dari Al-Quran, As-Sunnah, ijma’ para sahabat
atau pun qiyas jali (yaitu qiyas yang ‘illah atau sebabnya sudah disebutkan
secara eksplisit di dalam Nash syar’i baik itu dalam al-quran ataupun
as-sunnah). Sedangkan permasalahan-permasalahan yang hukumnya sudah jelas
ditunjukkan dengan dalil-dalil qoth’i maka tidak boleh ada lagi perbedaan
mengenai penentuan hukumnya, baik itu berkaitan dengan masalah ‘amaliyah
ataupun i’tiqodiyah.
Terlepas dari
perbedaan pendapat di antara kedua ulama di atas, tentunya kedua ulama tersebut
sepakat bahwa ikhtilaf atau perbedaan pendapat di antara para imam mujtahid dan
ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah fiqih yang merupakan hasil
sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan adalah fenomena
yang normal dan wajar, hal tersebut didasari oleh dua hal :
·
Tabiat teks-teks dalil syar’i yang
potensial untuk diperbedakan dan diperselisihkan
·
Tabiat akal manusia yang beragam
tingkat daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya
Dan seperti yang
sudah disinggung diatas bahwa fenomena ikhtilaf yang terjadi diantara para
ulama dan mujtahidin merupakan fenomena klasik yang sudah terjadi sejak
generasi salaf dan merupakan realita yang diakui. Namun meskipun mereka berbeda
pendapat tetapi tidak ada yang saling mencela ataupun menyalahkan pendapat
orang lain. Tapi semuanya saling menghargai dan menghormati pendapatnya
masing-masing. Teladan tersebut dapat kita temui dalam sejarah perjalanan ulama
salaf terdahulu. Berikut ini beberapa contohnya :
1. Al-Imam
Yahya Ibn Sai’d Al-Anshari berkata : “Para ulama adalah orang-orang yang
memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja
berbeda pendapat, sehingga dalam masalah tertentu ada yang yang menghalalkan
dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu
sama lain.
2. Al-Imam
Yunus Ibn Abdul A’la Ash-Shadafi (salah seorang murid/sahabat Al-Imam
Asy-Syafi’i) berkata : “Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (cerdas) dari Imam
Asy-Syafi’i. Suatu hari aku pernah berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu
kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya
berkata : “Hai Abu Musa tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun
kita tidak sependapat dalam satu masalah pun (tentu dalam masalah-masalah
ijtihadiyah).
3. Ulama
salaf (salah satunya Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata, “Pendapatku, menurutku
adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku
adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
4. Al-Imam
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan di antara
ulama fikih, aku tidak pernah melarang siapa pun di antara saudara-saudaraku
untuk mengambil salah satu pendapat yang ada”.
5. Khalifah
Abu Ja’far Al-Manshur (dalam riwayat lain Harun Ar-Rasyid) pernah berazam untuk
menetapkan kitab Al-muwaththa karya Imam Malik sebagai kitab yang wajib
diikuti oleh seluruh umat Islam. Namun Imam Malik sendiri justru menolak hal
itu dan meminta agar umat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti mazhab
yang terlebih dahulu mereka anut.
6. Khalifah
Harun Ar-Rasyid berbekam lalu langsung mengimami salat tanpa berwudhu lagi
(mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf (murid dan sahabat Imam Abu
Hanifah) pun ikut salat bermakmum dibelakang beliau, padahal berdasarkan mazhab
Hanafi berbekam itu membatalkan wudu.
7. Imam Abu
Hanifah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i dan imam-imam yang lain, yang
berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surat al-fatihah,
biasa salat bermakmum di belakang imam-imam salat di kota Madinah yang
bermadzhab Maliki, padahal imam-imam salat itu tidak membaca basmalah sama
sekali ketika membaca Al-Fatihah baik pelan ,maupun keras.
8. Imam
As-Syafi’i pernah salat subuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah dan tidak
melakukan qunut (sebagaimana mazhab beliau) dan itu beliau lakukan “hanya”
karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah telah wafat
tepat ketika Imam Syafi’i lahir.
Begitulah
kisah-kisah teladan dari ulama salaf dalam usaha mereka untuk memelihara
persatuan umat di atas perbedaan mereka dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
Karena sejatinya perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah perbedaan yang
bersifat variatif (ikhtilaf tanawwu’) yang artinya perbedaan tersebut bukanlah
sebuah bencana yang harus dihindari, tapi justru merupakan hal yang baik dan
positif karena perbedaan tersebut dapat mengindikasikan tabiat syariat islam
sebagai syariat yang luwes dan fleksibel.
Lain halnya jika
perbedaan tersebut sudah mengarah pada ikhtilaf tadhaadh (perbedaan yang
bersifat kontradiktif) seperti halnya perbedaan aqidah antara syi’ah dan
ahlussunnah waljama’ah, atau perbedaan aqidah antara kaum muslimin (ahlussunnah
waljama’ah) dan Ahmadiyah tentang finalitas kenabian Nabi Muhammad SAW, maka
yang demikian itu sudah tidak dapat ditolerir lagi karena sudah jelas
bertentangan dengan apa yang dijelaskan di dalam Al-quran dan Hadits-hadits
Shahih secara tegas dan lugas.
Sekarang saatnya
kita lihat realita yang ada di masyarakat kita sekarang ini. Sesuatu yang
memprihatinkan memang, ketika kita melihat ada saudara-saudara kita sesama
muslim yang saling mencela satu sama lain, hanya karena berbeda dalam
masalah-masalah sepele yang seakan dibesar-besarkan. Padahal kenyataannya hal
tersebut sudah lama menjadi bahan perdebatan di antara para ulama dari dulu,
tapi mereka tidak pernah ada yang ribut seperti yang terjadi sekarang. Bahkan
mereka saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah pernah berkata, “Seandainya tiap kali dua orang muslim berbeda
pendapat itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikit
pun ikatan ukhuwah di antara kaum muslimin”.
Salah satu faktor
yang mendorong terjadinya hal tersebut adalah sikap fanatisme. Fanatisme yang
lahir dari kedangkalan ilmu, fanatisme yang lahir dari sikap taklid buta. Apa
yang dikatakan oleh kiyainya atau ustadznya, itulah satu-satunya yang dianggap
benar, bahkan lebih parah lagi sampai pada derajat pengkultusan. Sehingga jika
ada orang yang menyampaikan sesuatu yang baru, yang asing di telinga mereka dan
bertentangan dengan apa yang mereka yakini sebelumnya, lantas ditolak
mentah-mentah bahkan sampai memusuhi dan memeranginya. Padahal apa yang mereka
pertahankan adalah sesuatu yang sifatnya khilafiyah.
Dan tidak jarang
juga fanatisme itu timbul karena dilandasi oleh loyalitas dan juga sikap
membela dan mempertahankan eksistensi suatu kelompok atau ormas tertentu.
Sehingga yang terjadi adalah adanya gap antar kelompok dan ormas-ormas
islam yang memicu terjadinya perpecahan umat.
Yang lebih memprihatinkan
lagi, ada sebagian orang atau kelompok yang ketika berhadapan dengan orang
kafir, orang-orang liberalis dan antek-anteknya yang ingin menghancurkan islam,
mereka menampakkan wajah kehangatan dan senyum persahabatan. Tapi ketika
berhadapan dengan saudara sesama muslim yang berasal dari kelompok atau
golongan lain mereka berpaling dan menampakkan wajah permusuhan. Na’udzu billahi
min dzalik.
Ini tentunya
sangat kontradiktif dengan apa disampaikan di dalam Al-qur’an surah Al-fath
ayat 29 :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...”
Maka di sini
perlu adanya rekonstruksi cara berpikir, dan merubah mindset kita. Sehingga apa yang kita pandang sebagai
sebuah perbedaan, selama perbedaan itu masih dapat ditolerir. Maka seharusnya
kita pandang itu sebagai ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif),
sehingga tidak merusak persatuan umat dan ukhuwah islamiyah.
Karena jika umat
islam sudah terpecah belah dan tercerai berai, maka itu hanya akan memperlebar
senyum musuh-musuh islam yang memang menginginkan hal itu terjadi.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar