Terkadang, dalam kondisi tertentu
seseorang dihadapkan pada dua pilihan
yang mana keduanya mengandung mudarat (sesuatu yang buruk atau berbahaya). Bagai
makan buah simalakama, dimakan mati ayah, tidak dimakan mati ibu. Maka ini
menjadi suatu permasalahan yang perlu ada jalan keluarnya. Permasalahan
tersebut adalah bagaimana menentukan sikap dalam menghadapi dua pilihan
tersebut.
Islam sebagai agama yang syamil wa
mutakamil (komprehensif dan
sempurna) menjadi pedoman bagi kehidupan umat manusia di bumi
ini. dalam segala aspek kehidupan, Allah telah meletakkan aturan-Nya melewati
wahyu yang diturunkan kepada utusan-Nya Nabi Muhammad SAW. Wahyu itu berupa
Al-Quran dan As-sunnah yang sampai kepada kita dan wajib kita ikuti.
Tidak terkecuali dengan kasus di
atas. Allah SWT telah menyediakan solusinya melalui jasa para ulama yang
menyimpulkan kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang tidak lain semua itu
disarikan dari al-quran dan as-sunnah dengan pemahaman yang sahih. Dalam hal
ini, ada satu disiplin ilmu dalam islam yang disusun oleh para ulama yaitu ilmu
qowa'id fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) yang membahas
permasalahan-permasalahan yang berkaitan erat dengan permasalahan fikih secara
umum beserta kaidah-kaidahnya.
Berkaitan dengan kasus di atas, ada
satu kaidah yang bisa dijadikan acuan untuk kita menyikapinya. Dan kaidah
inilah yang insya Allah akan kita bahas pada tulisan ini. kaidah tersebut
berbunyi :
إذا
تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
“Jika dihadapkan pada dua mafsadat,
maka mafsadat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil mafsadat yang lebih ringan”.
B) Makna kaidah secara umum
Maksud
dari kaidah tersebut, jika dilihat secara harfiah pun sebenarnya sudah dapat
dipahami dengan jelas. Yaitu ketika kita dihadapkan pada dua pilihan dimana
keduanya sama-sama memiliki sisi mudaratnya, maka kita harus memilih salah satu
yang nilai mudaratnya lebih kecil dan lebih ringan.
Sementara
itu Doktor Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusri di dalam kitabnya Al-mumti'
fil qowa'id al-fiqhiyah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan salah satu
pilihan yang nilai mudaratnya lebih besar adalah yang belum terjadi. Artinya
jika ada kemudaratan yang akan terjadi, tapi masih memungkinkan untuk dicegah
terjadinya dengan kemudaratan lain yang nilainya lebih kecil, maka pencegahan
itu harus dilakukan agar tidak terjadi kemudaratan yang lebih besar.
Contohnya
adalah jika ada ibu hamil yang akan melahirkan, kemudian janinnya bermasalah
sehingga harus dilakukan operasi Caesar yaitu mengeluarkan janin dengan
membelah perut si ibu. Maka di sini akan muncul dua mudarat. Mudarat yang
pertama yaitu pembelahan perut sang ibu yang setidaknya akan beresiko untuknya, atau
mudarat yang kedua adalah tidak terselamatkannya janin yang berada di perut si ibu. Maka harus dipilih mudarat yang
paling ringan yaitu membelah perut ibu untuk menyelamatkan sang janin.
Adapun
jika kemudaratan yang lebih besar itu sudah terjadi, maka itu ditunjukkan
dengan kaidah lain yaitu kaidah :
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
"Kemudaratan
yang lebih besar dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih kecil"
Contoh
penerapan kaidah ini adalah jika ada dua orang kerabat, yang satunya orang mampu dan yang satunya lagi hidup
sebatang kara dan tidak sanggup untuk bekerja. Karena tidak punya keahlian atau
karena alasan lainnya. Maka orang yang mampu itu wajib memberi nafkah kepada
kerabatnya yang miskin. Alasannya adalah karena dalam hal ini akan timbul dua
kemudaratan. Mudarat yang pertama adalah berkurangnya sebagian harta si kaya karena
dipakai untuk menafkahi si miskin. Mudarat yang kedua adalah bertambahnya
kesengsaraan bagi si miskin karena tidak ada yang menafkahi, bahkan tidak
menutup kemungkinan ia akan berbuat nekad untuk mengakhiri hidupnya ataupun
berbuat tindakan kriminal. Maka jelas mudarat yang kedua ini lebih besar dan
lebih fatal dampaknya. Sehingga harus ditutupi dengan mudarat yang pertama yang
lebih ringan.
Kedua
kaidah di atas sejatinya memiliki makna dan maksud yang sama. Keduanya
menunjukkan skala prioritas dalam menyikapi dua pilihan yang sama-sama memiliki
sisi mudarat namun intensitasnya berbeda. Prioritas disini adalah meminimalisir
kemudaratan sebisa mungkin dengan mengutamakan atau
memilih kemudaratan yang lebih kecil dibanding yang lebih besar. Tentunya dalam
hal ini jika tidak ada pilihan lain yang lebih baik.
Tapi
harus dijadikan catatan bahwa maslahat dan mafsadat bukan berarti manfaat dan bahaya
menurut perasaan manusia melainkan maslahat dan mafsadat yang sesuai dengan
perintah atau larangan Allah. Imam Gazali pernah berkata: “Kemaslahatan menurut asalnya adalah manfaat dan bahaya menurut
selera dan perasaan. Namun yang dimaksud di sini bukan itu, karena mengambil
manfaat dan menolak mafsadat seperti itu adalah tujuan manusia dan kemaslahatan
manusia untuk menghasilkan tujuan-tujuan mereka. Yang dimaksud dengan maslahat
yang sebenarnya adalah menjaga tujuan-tujuan syariat yaitu menjaga agama, menjaga
jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta.
C) Dalil-dalil yang menjadi sumber
penetapan Kaidah
Para
ulama dalam menyusun kaidah-kaidah fikih di dalam ilmu qowa'id fiqhiyah,
merujuk kepada dalil-dalil baik itu dari Al-quran ataupun al-hadits. dengan
begitu, maka kaidah-kaidah fikih tersebut bisa dikatakan sebagai turunan atau
kesimpulan dari dalil-dalil yang disarikan berdasarkan pemahaman para ulama.
Meskipun demikian kaidah fikih bukanlah hukum syara', karena redaksinya
hanyalah berdasarkan pemahaman para ulama terhadap Nash syar'i.
Di
dalam menyimpulkan dua kaidah di atas, para ulama merujuk pada berbagai dalil, di
antaranya :
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Anas
bin Malik, bahwasanya ketika para sahabat berada di masjid bersama Rasulullah
SAW, tiba-tiba datang seorang Arab Badui kemudian dia berdiri dan buang air
kecil di masjid. Melihat perbuatannya itu, serentak para sahabat
menghentikannya. Namun Rasulullah SAW menegur para sahabat dan menyuruh mereka
untuk membiarkan orang Badui itu menyelesaikan buang air kecilnya. Kemudian
beliau memanggilnya seraya berkata, "sesungguhnya masjid itu bukan untuk
buang air ataupun kotoran. Melainkan masjid itu untuk mengingat Allah, salat
dan membaca al-quran". kemudian beliau memerintahkan seseorang untuk mengambil
satu ember air kemudian dikucurkan pada bekas buang air kecilnya.
Dari hadis diatas dapat
dipahami bahwasanya ada dua mudarat yang akan terjadi dari orang Badui
tersebut. Pertama jika orang Badui itu dibiarkan buang air kecil sampai
selesai, maka akan mengotori dan menimbulkan najis di masjid. Kedua jika buang
air kecilnya dihentikan atau dipotong, maka air seninya akan berceceran
sehingga mengenai badan dan pakaiannya dan juga tempat-tempat di dalam masjid.
Maka jelas bahwa mudarat yang kedua lebih besar daripada yang pertama. Itulah
mengapa Rasulullah membiarkan orang Badui itu buang air sampai selesai untuk
mencegah terjadinya mudarat yang lebih besar.
2. Dalil yang kedua berkenaan dengan
peristiwa perjanjian hudaibiyah. Dalam perjanjian tersebut orang-orang musyrik sengaja
meminta syarat dimana butir-butir syarat tersebut merugikan kaum muslimin. Di
antara butir syarat tersebut adalah
orang Madinah (kaum muslimin) yang pergi ke Mekkah tidak boleh dikembalikan ke
Madinah. Dan orang Mekkah (kaum musyrikin) yang pergi ke Madinah harus
dikembalikan ke Mekkah. Para sahabat pun memprotes syarat yang diajukan kaum
musyrikin tersebut. Tetapi pada akhirnya nabi Muhammad SAW menyetujui syarat
tersebut.
Dari peristiwa di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW. Mengambil
keputusan tersebut bukan tanpa alasan. Karena jika kita lihat dari perjanjian
hudaibiyah tersebut akan menghasilkan dua mudarat bagi kaum muslimin. Pertama
jika rasul menerima syarat yang diajukan oleh kaum musyrikin, maka itu akan
merendahkan kaum muslimin di mata mereka. Karena dengan diterimanya syarat yang
merugikan kaum muslimin tersebut, itu berarti kemenangan bagi mereka. Mudarat
yang kedua adalah jika rasul tidak menerima syarat tersebut itu akan
membahayakan kaum muslimin yang ada di Mekkah. Karena kemungkinan mereka akan
disakiti bahkan dibunuh oleh kaum musyrikin dikarenakan rasul tidak menerima
hasil dari perjanjian hudaibiyah tersebut. Maka dari kedua mudarat itu, jelas
mudarat kedualah yang paling besar karena mempertaruhkan nyawa kaum muslimin.
Atas dasar itulah Rasulullah SAW mengambil sikap untuk menerima syarat-syarat
yang diajukan kaum musyrikin dalam perjanjian hudaibiyah itu. Maka sikap
Rasulullah inilah yang dijadikan dalil oleh para ulama dalam menyusun kaidah
ini.
3. Dalil
ketiga adalah kisah yang disebutkan di dalam al-quran antara nabi Musa dan
Khidir. Yaitu ketika nabi khidir melubangi kapal seorang nelayan. Perbuatan
nabi khidir tersebut memiliki dua sisi mudarat. Mudarat yang ditimbulkan karena
lubang yang dibuat oleh nabi Khidir, itu mudarat yang kecil jika dibandingkan
dengan hilangnya kapal tersebut karena dirampas oleh raja yang dzalim. Oleh
karena itulah nabi khidir melubangi kapal tersebut.
Dalil ini dalam ilmu usul fiqh disebut dengan istilah syar'u man
qoblana (syariat umat sebelum kita). Karena peristiwa tersebut terjadi
sebelum umat nabi Muhammad. Walaupun dalil ini masih diperdebatkan oleh para
ulama tentang keabsahannya untuk dijadikan sumber penetapan hukum. Tapi menurut
pendapat yang rajih (lebih kuat), syar'u man qoblana bisa
dijadikan sebagai sebuah dalil dalam penetapan hukum. Selama syariat kita tidak
menafikannya.
D)
Contoh penerapan kaidah dalam konteks kekinian
Dalam bidang politik contohnya
adalah ketika ada pemilihan umum seorang
pemimpin daerah. Dalam pemilihan tersebut hanya ada dua calon pemimpin, yang
mana salah satunya orang islam. Tetapi dilihat dari kinerjanya tidak memuaskan
dan tidak maksimal. Dan yang satunya adalah orang kafir. Maka di sini akan
timbul dua mudarat. Yang pertama jika kita memilih pemimpin yang muslim, maka
kemungkinan daerah yang akan dia pimpin akan sulit untuk berkembang. Tetapi
jika kita memilih orang kafir, mudaratnya lebih besar lagi karena akan masuk
pada sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT yaitu menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin. Disamping itu, bagaimanapun juga kemaslahatan umat islam hanya akan dipahami
dan diperhatikan oleh pemimpin yang muslim juga.
Namun
ada sebagian orang yang menyalahgunakan kaidah ini, atau menerapkannya sesuka
hati tanpa menghiraukan prinsip-prinsip Syariah. Di antaranya adalah masalah
lokalisasi WTS. Mereka yang mendukung legalisasi terhadap lokalisasi tersebut
didasarkan pada kaidah di atas. Bahwa kalau misalkan tidak dilokalisasi maka
perzinahan dan perjudian akan tersebar luas di masyarakat. Jelas ini sangat
bertentangan dengan syariat. Karena zina bagaimanapun adalah dosa besar yang
sangat dilarang dan dikecam dengan keras di dalam al-quran ataupun as-sunnah.
Sehingga di dunia pun pelakunya harus menerima hukuman yang sangat berat yaitu
hukuman rajam.
Nah,
ini Kok malah dipelihara. Bahkan dijadikan sumber devisa. Padahal islam sendiri
sudah memberikan solusinya agar kita tidak terjerumus dalam perbuatan zina.
Solusi tersebut adalah dengan menikah. Tapi celakanya banyak orang yang
mempermasalahkan pernikahan di usia dini. Alasannya karena melanggar HAM dan
sebagainya. padahal –apakah mungkin mereka tidak tahu atau bahkan tak acuh— di
kalangan anak muda zaman sekarang yang namanya Free sex itu sepertinya
sudah menjadi tren. Bahkan menurut sebuah lembaga survei tahun 2010, 20 persen remaja di Jakarta kedapatan
hamil di luar nikah. Na'udzubillahi min dzalik.
Hi, saya mau menanya. yang tadinya rujukan kitab Dr Muslim bin Muhammad mengatakan mengenai mudarat itu pada halaman berapa ya boleh saya rujuk
BalasHapus